Kamis, 05 Juni 2008

JAKARTA 13/05

( Koran Tempo, 12 mei 2008 “ edisi khusus 10 tahun reformasi “ )

Sebagian orang memandangnya debgan kesan yang sangat mereduksi seluruh kepedihan yang tinggi sebagai salah satu episode perjalanan bangsa. Dan tentu saja, ada pula yang sok bijak mengimbau orang ramai agar melupakan masa lalu yang kelam itu dan sebaiknya melihat saja ke depan. Namun zaman yang sudah bukan pura ini, semua itu hanyalah kesia – sian belaka, betapapun dipompakan terus – menuerus dengan tenaga gergasi.

S

iang itu lusinan paying hitam terbentang di halaman depan gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Payung duka yang menandai teriakan banyak ribuan korban kerusuhan Mei 1998. Ruminah, 49 tahun, berkata dalam aksi kemisan yang telah igelar 64 kali itu. “ ini cara kami berseru : jangan diam….!!!”

Jangan diam untuk apa? “ untuk semua kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, “ kata ruminah di tengah aksi kamisan, tiga pecan lalu. Bajunya yang serba hitam menegaskan sebuah drama. “ sudah habis air mata saya, “kata rukminah, yang tinggal diklender, Jakarta Timur.

Dingding tebal misteri kerusuhan Mei belum goyah. Fakta – fakta yang dikumpulkan Tim Gabungan Pencari Fakta ( TGPF ), kemudian ditelusuri lagi oleh komnas HAM, tenggelam tanpa daya di tengah riuh – rendah pertarungan polotik.

Tragedy mei bukanlah peristiwa tunggal. Krisis ekonomi, ketimpangan social yang makin kentara, telah membuat kekecewaan rakyat menggumpal pekat. Sesuai siding Umum Majelies Permusyawarahan Rakyat, Maret 1998, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Seperti gelombang demonstrasi mahasiswa susul – menyusul tak tak kunjung putus.

Pada 9 mei 1998, di tengah hiruk – pikuk demonstrasi, muncul informasi mengejutkan. “ ada martir di kalangan mahasiswa. Kami harus hati – hati “ kata sukma widiyanti 23 tahun, aktvis keluarga Besar Universitas Indonesia ketika itu. Jaringan aktifis mahasiswa memutuskan mengelar minggu tenang. “ tak boleh ada ada demonstrasi minggu ini,” kata sukma.

Tanpa diduga, mahasiswa Universitas Trisakti bergerak mengabaikan seruan duduk masnis dirumah. Nahas , pada 12 mei itulah, Elang Mulyana Lesmana, Hendrawan Sie, Heri Hertanto, dan Hafidin Roiyan gugur diterjnag peluru tajam. Martir telah jatuh. Laksana api disiram bensin, kerusuhan berkobar cepat. Laknat melanda. Jakrta berubah menjadi belantara barbar. Laporan TGPE menunujukkan ada 1.190 orang mati terpanggang, 27 orang meninggal kaena senjata tajam, 52 korban pemerkosaan, dan 850 bagunan terbakar. Saying deretan angka itu tak sanggup menggerakan penguasa untuk menuntaskan penyelidikan. Sampai hari ini tak ada seorangpun yang diperiksa, apalagi dimintai pertanggungjawaban di pengadilan.

A. KERUGIAN FISIK

2.479 RUKO

1.604 TOKO

1.119 MOBIL DAN 821 SEPEDAH MOTIR

1.026 RUMAH

B. SITUASI KERUSUHAN

108 LOKASI PERUSAKAN

99 LOKASI PEMBAKARAN

96 LOKASI PENJARAHAN

C. PENJAGA JAKARTA

154 KENDARAN TEMPUR

14 RIBU PRAJURIT DARAT DAN UDARA

12 RIBU MARINIR

13 RIBU POLISI DAN PLODA

2.300 POLISI DARI MABES

D. TINDAKAN APARAT KEAMANN

61 LOKASI TIDAK ADA APARAT

57 HANAY MENJAGA LOKASI TERTENTU